Soal Pengawasan Wajib Pajak Kaya, DJP Andalkan Ini
BERITA PAJAK HARI INI

JAKARTA, Penambahan KPP Madya baru akan membuat pengawasan terhadap wajib pajak yang tergolong kaya (high wealth individual/HWI) makin optimal. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (28/6/2021).

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan adanya 18 KPP Madya baru yang beroperasi mulai 24 Mei 2021 akan meningkatkan kualitas pelayanan terhadap wajib pajak HWI. Apalagi, penambahan KPP Madya baru mempertimbangkan skala ekonomi dan potensi masing-masing wilayah.

"Kami kemarin telah membentuk KPP Madya baru. Tujuannya untuk mengumpulkan [wajib pajak] sehingga pelayanan terhadap wajib pajak yang berkelompok dalam satu grup dan pemiliknya menjadi lebih mudah dan pengawasan lebih baik," ujar Suryo.

Penambahan jumlah KPP Madya diikuti dengan perubahan komposisi wajib pajaknya. Ditjen Pajak (DJP) menambah jumlah wajib pajak yang diadministrasikan pada KPP Madya dari sebelumnya sekitar 1.000 menjadi 2.000 wajib pajak per kantor atau paling banyak 4.000 wajib pajak dalam satu Kanwil yang memiliki 2 KPP Madya.

Selain mengenai pelayanan dan pengawasan wajib pajak HWI, ada pula bahasan terkait dengan makin tingginya kontribusi penerimaan PPN dari batu bara. Kemudian, ada bahasan mengenai dihentikannya layanan telepon Kring Pajak untuk sementara waktu.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Kontribusi Penerimaan Pajak

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan otoritas juga akan memanfaatkan data internal dan eksternal dalam upaya pengawasan wajib pajak HWI. Compliance risk management (CRM) juga akan dioptimalkan untuk menentukan prioritas pengawasan DJP terhadap wajib pajak.

Dengan penambahan dari 20 menjadi 38 unit, target kontribusi penerimaan pajak yang dikumpulkan KPP Madya juga naik dari selama ini hanya 19,53% menjadi 33,79%. Simak ‘Jumlah KPP Madya Bertambah, Kontribusi ke Penerimaan Pajak Naik’. (DDTCNews)

  • PPN Batu Bara

Kementerian Keuangan mencatat pada Mei 2021, penerimaan PPN batu bara senilai Rp439,47 miliar. Angka itu melonjak bila dibandingkan penerimaan saat mulai berlakunya pengenaan PPN batu bara pada November 2020 senilai Rp48,29 miliar.

"Peningkatan ini disebabkan oleh sinyal positif dari diimplementasikannya UU Cipta Kerja serta tren kenaikan harga batu bara acuan," tulis Kementerian Keuangan pada laporan APBN Kita edisi Juni 2021.

Pada November 2020, harga batu bara acuan (HBA) tercatat senilai US$55,71 per ton. Pada Mei 2021, HBA sudah menjadi US$89,74 per ton. Kenaikan harga tersebut berkontribusi besar terhadap penerimaan PPN dari batu bara.

Pengenaan PPN atas hasil pertambangan batu bara merupakan salah satu poin revisi UU PPN melalui UU Cipta Kerja. Sebelum UU Cipta Kerja, batu bara termasuk dalam barang hasil tambang yang diambil langsung dari sumbernya sehingga dikecualikan dari pengenaan PPN. (DDTCNews/Kontan)

  • Layanan Telepon Kring Pajak

Melalui unggahan di Twitter @kring_pajak, contact center DJP menyatakan layanan telepon Kring Pajak 1500200 pada 25, 28, dan 29 Juni 2021 untuk sementara dialihkan. Langkah ini diambil sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

Ada beberapa saluran digital yang bisa dimanfaatkan wajib pajak antara lain live chat pada laman http://pajak.go.id, email informasi@pajak.go.id dan pengaduan@pajak.go.id, atau Twitter @kring_pajak. Saluran digital tersebut dapat dimanfaatkan wajib pajak pada pukul 08.00—16.00 WIB. (DDTCNews)

  • Persidangan Pengadilan Pajak

Persidangan di Pengadilan Pajak yang rencananya mulai dilaksanakan kembali pada 28 Juni 2021 ditunda lagi. Pengadilan Pajak menunda pelaksanaan persidangan pada 28 Juni 2021 hingga 2 Juli 2021.

Ketentuan ini termuat dalam Surat Edaran Ketua Pengadilan Pajak Nomor: SE-08/PP/2021. Meningkatnya kasus konfirmasi positif Covid-19 di lingkungan Pengadilan Pajak menjadi salah satu pertimbangan dilakukannya penundaan persidangan dan penghentian sementara layanan tatap muka. (DDTCNews)

  • Ruang Pemberian Fasilitas

Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Rustam Effendi mengatakan informasi yang beredar saat ini tentang rencana revisi kebijakan PPN hanya disajikan secara parsial sehingga arah kebijakan justru tidak dipahami secara benar oleh publik.

Menurutnya, ruang memberikan fasilitas baik dari sisi tarif atau pengecualian pajak masih terbuka untuk diatur lebih lanjut dalam regulasi setingkat peraturan pemerintah (PP). Perumusan PP nantinya akan melibatkan banyak kementerian/lembaga.

"Proses paling penting itu nanti pada pengaturan di PPN dan itu tidak hanya melibatkan Menkeu. Kami dengar aspirasi masyarakat dan juga pandangan dari K/L lain. Seperti untuk Sembako tentu Kementan," tutur Rustam. (DDTCNews)