JAKARTA, Penyidik pajak akan tetap berkoordinasi dengan aparat penegak hukum (APH) dalam penangkapan dan penahanan tersangka tindak pidana pajak. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (1/9/2021).
Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (KUP), pemerintah mengusulkan tambahan kewenangan bagi penyidik untuk menangkap dan menahan tersangka yang melakukan tindak pidana pajak.
“Ini dalam konteks selama ini kita belum punya kewenangan itu. Kita hanya minta bantuan polisi. Sementara di Bea Cukai ada kewenangan itu. Dalam operasionalnya nanti, kita akan meminta kepada polisi atau APH dalam melakukan penangkapan atau penahanan tersangka," ujar Hestu.
Dengan demikian tambahan kewenangan penyidik untuk menahan dan menangkap tersangka diperlukan agar penyidik pajak dapat dengan lebih mudah berkoordinasi dan meminta bantuan APH dalam menegakkan ketentuan perpajakan.
Selain mengenai tambahan kewenangan penyidik pajak, ada pula bahasan terkait dengan respons pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mengenai beberapa poin perubahan ketentuan dalam RUU KUP. Ada pula bahasan tentang ditutupnya 2 aplikasi elektronik DJP.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Kewenangan Sita dan Blokir Aset Tersangka Pidana Pajak
Selain mengusulkan tambahan kewenangan penangkapan dan penahanan tersangka, pemerintah juga berencana memberikan kewenangan bagi penyidik pajak untuk menyita dan memblokir aset milik tersangka tindak pidana pajak.
“Kalau nanti ternyata terbukti dia melakukan pidana pajak, kerugian negaranya bisa dipulihkan,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama.
Dalam ketentuan yang berlaku pada saat ini, penyidik hanya memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan atas bahan bukti tindak pidana pajak. Penyidik tidak memiliki kewenangan untuk menyita harta kekayaan milik tersangka. (DDTCNews)
Respons Pelaku UMKM
Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) khawatir dengan rencana pengenaan pajak penghasilan (PPh) minimum dalam skema alternative minimum tax (AMT). Rencana itu dinilai akan memberatkan pelaku usaha dan berpotensi menghambat pengembangan usaha.
"Kami meminta UMK tetap dikenakan pajak final sebesar 0,5% dari omzet atau dengan alternatif pilihan dikenai PPh sesuai Pasal 31E UU PPh," ujar Ketua Umum Akumindo Ikhsan Ingratubun. Simak pula ‘Pengecualian PPh Minimum WP Badan Rugi Bakal Diatur dalam PMK’. (DDTCNews/Kontan)
Insentif Pasal 31E UU PPh
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan tarif PPh badan yang makin rendah membuat insentif Pasal 31E UU PPh menjadi tidak relevan. Oleh karena itu, pemerintah mengusulkan penghapusan pasal tersebut dalam RUU KUP yang tengah dibahas bersama DPR.
"Mengingat PPh badan sudah mulai menurun, 22% dan 20% nanti [2022], kami melihat insentif ini sepertinya sudah tidak relevan lagi," katanya. (DDTCNews/Kontan)
DJP Tutup 2 Aplikasi Elektronik
Kemarin, Selasa (31/8/2021), DJP menutup dua aplikasi elektronik, yaitu aplikasi e-form versi lama dan aplikasi electronic filing identification number (EFIN) yang sebelumnya dapat diakses pada laman efin.pajak.go.id.
“#KawanPajak bisa menggunakan e-form versi pdf dan melakukan proses aktivasi/lupa EFIN melalui kantor pelayanan pajak,” tulis DJP dalam unggahannya di Instagram. Simak ‘Mulai Sekarang, 2 Aplikasi Elektronik Ini Ditutup DJP’. (DDTCNews)
Penerbitan Kode Billing
DJP memastikan layanan elektronik otoritas berjalan normal. Pernyataan DJP ini merespons keluhan sejumlah wajib pajak yang mengalami kendala saat melakukan pembayaran melalui perbankan pada Senin (30/8/21).
Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi menegaskan tidak ada gangguan sistem yang terjadi pada layanan elektronik otoritas sejak kemarin. Menurutnya, sistem penerbitan kode billing berjalan optimal.
"Dari hasil pemantauan kami pada hari kemarin [Senin], sistem billing kami dapat melayani wajib pajak dengan normal," katanya. (DDTCNews)
Fasilitas PPN Tidak Dipungut
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan meski barang kebutuhan pokok diusulkan untuk tidak termasuk barang yang dikecualikan dari PPN, terdapat potensi pemberian fasilitas PPN tidak dipungut atas barang tersebut.
"Seperti sembako yang memang benar-benar nanti dibutuhkan masyarakat banyak, mungkin bukannya tidak kena, justru bisa kami fasilitasi dalam bentuk PPN tidak dipungut," katanya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)