JAKARTA, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghapus beberapa jenis barang impor untuk penanganan pandemi Covid-19 dari daftar penerima fasilitas perpajakan. Kebijakan tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (9/7/2020).
Pencabutan fasilitas ini berlaku mulai 7 Juli 2020, setelah diterbitkannya PMK 83/2020 sebagai perubahan atas PMK 34/2020. Dengan beleid terbaru ini, pemerintah mengubah daftar jenis barang yang mendapatkan fasilitas, seperti yang tercantum dalam Lampiran A.
Ketersediaan beberapa jenis barang untuk penanganan pandemi Covid-19, berupa hand sanitizer, produk mengandung disinfektan, serta masker dan pakaian pelindung jenis tertentu, telah mencukupi kebutuhan di dalam negeri. Jenis barang itu telah dapat disubstitusi barang produksi di dalam negeri.
“Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional pada sektor industri hand sanitizer, produk mengandung dIsinfektan, serta masker dan pakaian pelindung jenis tertentu, serta untuk memberikan kepastian hukum dan percepatan pelayanan dalam fasilitas,” demikian bunyi penggalan pertimbangan dalam PMK 83/2020.
Adapun fasilitas perpajakan yang dimaksud adalah pembebasan bea masuk dan/atau cukai, tidak dipungut pajak pertambahan nilai (PPN) atau PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), serta dibebaskan dari pemungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22.
Selain mengenai pencabutan fasilitas perpajakan beberapa jenis barang impor, ada pula bahasan mengenai potensi penerimaan dari pengenaan PPN produk digital. Apalagi, Ditjen Pajak (DJP) telah menunjuk enam perusahaan sebagai pemungut PPN.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Berdasarkan pada ketentuan dalam PMK 83/2020, ada beberapa jenis barang impor yang tidak lagi mendapatkan fasilitas perpajakan. Jenis barang tersebut mencakup jenis barang dari kelompok produk hand sanitizer, zat disinfektan, dan produk mengandung disinfektan (siap pakai).
Kemudian jenis barang lain yang juga tidak lagi mendapat fasilitas perpajakan adalah instrumen laboratorium untuk analisis PCR, masker gas yang dilengkapi bagian mekanis maupun filter yang dapat diganti, alat pelindung kaki, face shield, kacamata pelindung, dan pelindung kepala.
Adapun jenis barang dari kelompok produk pakaian pelindung yang mendapat fasilitas juga dibatasi hanya untuk pakaian pelindung medis (coverall) dan pakaian bedah (surgical gown). (DDTCNews)
Berdasarkan Pasal 8 PMK 83/2020, fasilitas perpajakan diberikan atas barang yang waktu importasinya atau waktu pengeluaran barang dilakukan sejak berlakunya PMK 83/2020 sampai dengan adanya penetapan berakhirnya status bencana Covid-19 sebagai bencana nasional.
Pengeluaran barang yang dimaksud berasal dari pusat logistik berikat, kawasan bebas, kawasan berikat, gudang berikat, kawasan ekonomi khusus, dan perusahaan penerima fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE).
Permohonan fasilitas yang pemberitahuan pabean impornya telah mendapatkan nomor dan tanggal dokumen pemberitahuan kedatangan atau BC 1.1 sebelum berlakunya PMK No. 83/2020, proses tetap dilakukan sesuai PMK 34/2020.
Proses sesuai PMK 34/2020 juga berlaku untuk permohonan fasilitas yang pemberitahuan pabean pengeluaran barangnya telah mendapatkan pendaftaran dari Kantor Bea dan Cukai sebelum berlakunya PMK 83/2020. (DDTCNews)
Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak DJP Ihsan Priyawibawa mengatakan potensi penerimaan PPN dari enam perusahaan global yang ditunjuk sebagai pemungut PPN produk digital sekitar Rp10 triliun. Pada tahun ini, ada potensi penambahan perusahaan pemungut PPN.
Managing Partner DDTC Darussalam berpendapat potensi penerimaan PPN produk digital sangat besar karena Indonesia sebagai negara pasar. Dia pun optimistis jika implementasinya diperluas, potensi penerimaannya bisa lebih dari Rp10 triliun. (Kontan)
DJP mulai efektif mengimplementasikan aplikasi Taxpayer Accounting Modul Revenue Accounting System (TPA Modul RAS). Langkah ini dilakukan untuk memperbaiki administrasi internal DJP pada tiga area proses bisnis, yaitu catatan penerimaan pajak, data piutang pajak, dan utang kelebihan pembayaran pajak.
“TPA Modul RAS ini arahnya untuk meningkatkan ketepatan dan ketertiban administrasi pencatatan penerimaan pajak, piutang pajak, dan utang kelebihan pembayaran pajak," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama. (Bisnis Indonesia/DDTCNews)
Dirjen Pajak Suryo Utomo menetapkan delapan jenis dokumen perpajakan pada proses bisnis registrasi – selain surat pemberitahuan (SPT) – yang diolah di Unit Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (UPDDP).
Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-280/PJ/2020 yang berlaku sejak 24 Juni 2020. Kebijakan ini dilakukan untuk mendukung reformasi perpajakan, terutama dalam implementasi pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP). Simak artikel ‘Keputusan Baru DJP Soal Pengolahan 8 Dokumen Perpajakan’. (DDTCNews)
Dalam publikasi OECD bertajuk "Corporate Tax Statistics Second Edition, rata-rata pajak korporasi untuk seluruh yurisdiksi yang dicakup adalah sebesar 20,6% pada 2020, lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu yang sebesar 20,7% atau pada 2000 sebesar 28,0%.
Dari 109 yurisdiksi, ada 21 negara yang memiliki pajak perusahaan tarif sama dengan atau di atas 30% pada 2020. Sementara itu, 12 yurisdiksi tidak memiliki rezim pajak perusahaan. (Bisnis Indonesia)
Otoritas akan segera menyusun surat edaran dirjen pajak tentang petunjuk pelaksanaan multilateral instrument on tax treaty (MLI) yang mulai efektif berlaku pada 1 Agustus 2020. Berdasarkan catatan OECD, Indonesia sudah menyerahkan dokumen ratifikasi MLI kepada Sekretariat OECD sejak 28 April.
“DJP akan menyiapkan surat edaran dirjen pajak sebagai petunjuk pelaksanaan MLI. Surat edaran dirjen pajak diharapkan terbit sebelum MLI berlaku efektif," ujar Direktur Perpajakan Internasional DJP John Hutagaol. (DDTCNews)