JAKARTA, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sudah bisa melakukan penelitian komprehensif setelah berakhirnya batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak penghasilan (PPh). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (10/5/2022).
Sesuai dengan SE-05/PJ/2022, penelitian komprehensif untuk tahun pajak sebelum tahun pajak berjalan merupakan langkah yang dapat ditempuh sebagai bagian dari penelitian kepatuhan materiel atas wajib pajak strategis di KPP.
“Penelitian komprehensif atas suatu tahun pajak dilakukan setelah wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau setelah berakhirnya batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh sesuai dengan ketentuan perpajakan,” bunyi salah satu materi dalam SE-05/PJ/2022.
Adapun penelitian komprehensif adalah penelitian atas seluruh jenis pajak dengan cakupan penelitian antara lain melalui analisis proses bisnis, analisis laporan keuangan, dan/atau analisis transfer pricing, dengan melibatkan supervisor fungsional pemeriksa untuk tahun pajak sebelum tahun pajak berjalan.
Seperti diketahui, wajib pajak strategis adalah seluruh wajib pajak yang terdaftar pada KPP di lingkungan Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Wajib Pajak Besar, KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya.
Kemudian, wajib pajak strategis juga mencakup wajib pajak status NPWP pusat dengan kriteria tertentu yang terdaftar pada KPP Pratama, yaitu wajib pajak dengan kontribusi penerimaan pajak terbesar atau kriteria lain yang diatur melalui nota dinas direktur yang berwenang atas kebijakan pengawasan wajib pajak, melalui penetapan oleh kepala Kanwil DJP.
Selain mengenai penelitian komprehensif, ada pula bahasan terkait dengan kewajiban pelaporan SPT Tahunan meskipun sudah melewati batas waktu yang ditentukan. Ada pula bahasan mengenai performa pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2022.
Penelitian komprehensif atas seluruh jenis pajak (all taxes) dilaksanakan melalui beberapa langkah. Pertama, analisis atas profil risiko berdasarkan CRM dan business intelligence lainnya yang dimiliki DJP.
Kedua, analisis atas pelaporan dan pembayaran pajak serta kesesuaian data profil wajib pajak. Ketiga, analisis atas proses bisnis wajib pajak. Keempat, analisis laporan keuangan. Kelima, analisis transfer pricing dan perpajakan internasional.
Keenam, analisis yang didasarkan mirroring atas hasil penilaian, pemeriksaan, keberatan, banding, gugatan dan peninjauan kembali. Ketujuh, analisis atas data internal dan eksternal, termasuk data ILAP, data Eol, dan data informasi keuangan.
Kedelapan, analisis dalam rangka tindak lanjut atas Laporan Hasil Analisis (LHA) dan/atau Lembar Informasi Intelijen Perpajakan (LIIP) kantor pusat DJP serta LHA dan/atau LIIP Kanwil DJP. Kesembilan, kunjungan ke lokasi wajib pajak.
Seluruh kegiatan tersebut dilakukan, kecuali tidak tersedia data dan/atau keterangan atau keadaan kaharyang mengakibatkan penelitian tersebut tidak dapat dilakukan, dengan penjelasan/keterangan di dalam Kertas Kerja Penelitian (KKPt) dan/atau Laporan Hasil Penelitian (LHPt). (DDTCNews)
Sanksi administrasi berupa denda tidak menggugurkan kewajiban pelaporan SPT Tahunan meskipun terlambat. Batas akhir penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan paling lambat 3 bulan dan 4 bulan setelah berakhirnya tahun pajak.
“Sanksi tersebut tidak menggugurkan kewajiban pelaporan SPT Tahunan, sehingga SPT Tahunan tetap wajib disampaikan,” cuit akun Twitter Kring Pajak, merespons pertanyaan dari warganet. (DDTCNews)
Pembayaran sanksi administrasi berupa denda keterlambatan pelaporan SPT tidak bisa langsung dilakukan oleh wajib pajak. Pembayaran dilakukan setelah wajib pajak mendapatkan Surat Tagihan Pajak (STP) dari DJP.
Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) disebutkan dirjen pajak dapat menerbitkan STP, salah satunya jika wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga.
Sesuai Pasal 7 ayat (1) UU KUP, penyampaian SPT yang terlambat akan dikenai sanksi administrasi berupa denda. Untuk SPT Tahunan PPh orang pribadi, denda dipatok senilai Rp100.000. Untuk SPT Tahunan PPh badan dipatok Rp1 juta. (DDTCNews)
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2022 sebesar 5,01% secara tahunan.
Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan pertumbuhan positif tersebut terjadi sejalan dengan membaiknya perekonomian setelah pandemi Covid-19. Menurutnya, kondisi itu berbeda dibandingkan dengan kuartal I/2021 yang pada saat itu masih mengalami kontraksi 0,7%.
"Tingginya angka pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2022 ini selain karena pulihnya aktivitas ekonomi masyarakat. Faktor lain juga karena ada low base effect pada kuartal I/2021 di mana ekonomi Indonesia terkontraksi 0,70%," katanya melalui konferensi video. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan)
*Tulisan ini merupakan artikel milik DDTCNews yang dimuat dalam https://news.ddtc.co.id/ dan rilis tanggal 10 Mei 2022