JAKARTA, Indonesia menjadi salah satu dari beberapa yurisdiksi yang akan diinvestigasi oleh Amerika Serikat (AS) atas rencana pengenaan pajak digital sebagai aksi unilateral. Topik tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (4/6/2020).
Kantor Perwakilan Dagang AS (United States Trade Representative/USTR) akan melakukan investigasi (section 301) terhadap pajak digital yang telah diadopsi atau sedang dipertimbangkan oleh Austria, Brasil, Republik Ceko, Uni Eropa, Indonesia, India, Italia, Turki, Spanyol, dan Inggris.
Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer mengatakan investigasi itu untuk membuktikan dugaan skema pajak digital sebagai bentuk ketidakadilan pada perusahaan raksasa teknologi, yang kebanyakan berada di AS.
“Presiden Trump khawatir akan banyak mitra dagang kami mengadopsi skema pajak yang dirancang untuk menargetkan perusahaan kami secara tidak adil,” katanya.
Investigasi USTR sebelumnya juga dilakukan terhadap pajak digital atau pajak layanan digital (digital service tax/DST) di Prancis. Dengan ancaman bea masuk yang tinggi bagi sejumlah komoditas ekspor akhirnya Prancis menunda pengenaan pajak dengan tarif 3% dari total pendapatan itu.
Presiden Prancis Emmanuel Macron memutuskan untuk menunda pemungutan pajak layanan digital Prancis menyusul adanya rencana retaliasi atau tindakan balasan dari AS untuk mengenakan bea tinggi bagi komoditas asal Prancis. Simak artikel ‘Ditekan AS, Prancis Putuskan Tunda Pengenaan Pajak Digital’.
Selain mengenai langkah investigasi dari AS tersebut, ada pula bahasan mengenai rencana revisi Peraturan Presiden No. 54/2020 tentang Perubahan Postur APBN 2020. Ada penurunan outlook penerimaan perpajakan dan peningkatan belanja. Alhasil, defisit anggaran ikut terkerek.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Hingga saat ini, belum ada tanggapan dari pemerintah Indonesia terkait dengan langkah investigasi tersebut. Namun demikian, skema pajak digital yang serupa dengan skema DST sudah diadopsi oleh Indonesia melalui Undang-Undang (UU) No.2 Tahun 2020.
Dalam UU tersebut sudah diatur adanya pengenaan pajak transaksi elektronik (PTE). Pajak ini dikenakan kepada pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) luar negeri yang tidak dapat ditetapkan sebagai bentuk usaha tetap (BUT). Simak kamus ‘Apa itu Pajak Transaksi Elektronik?’.
Kendati sudah diatur dalam UU, hingga saat ini pemerintah masih menunggu pencapaian konsensus global yang berada di bawah koordinasi OECD. Adanya PTE ini juga sudah mulai disosialisasikan ke beberapa pelaku usaha asing. ‘DJP Sudah Kenalkan Pajak Transaksi Elektronik ke Pelaku Usaha Asing’. (DDTCNews)
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan konteks pajak internasional maupun perdagangan internasional dikenal prinsip nondiscrimination. Keduanya sama-sama berpendapat bahwa tidak boleh terjadi perlakuan yang berbeda berdasarkan kewarganegaraan.
Darussalam mengatakan dalam konteks pajak digital, yang sering dikaitkan dalam perdagangan internasional adalah pengaturan pengenaan PPh, bukan PPN. Belum adanya konsensus global tentang tata cara pemajakannya mendorong negara menggunakan DST atau PTE secara sepihak.
Pengenaan PTE sering kali hanya ditujukan untuk entitas digital dengan nilai di atas peredaran bruto sehingga menyasar raksasa digital yang mayoritas dari AS. Menurutnya, hal inilah yang membuat berang AS sehingga mendorong aksi balasan di ranah perdagangan. (Bisnis Indonesia)
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan ada dua perkembangan terkini yang akan menentukan ada atau tidaknya aksi balasan AS. Pertama, AS sebagai negara G20 telah memberikan mandat pembahasan konsensus global PPh digital kepada OECD. Kedua, prospek tertundanya konsensus sehingga membuat adanya ancang-ancang dari beberapa negara untuk melakukan aksi unilateral.
"Dalam hal ini, hegemoni AS tentu semakin mendapatkan perlawanan dan agaknya AS juga akan sangat berhitung jika mengambil langkah balasan,” katanya. (Bisnis Indonesia)
Outlook penerimaan perpajakan pada tahun ini kembali berubah. Sejalan dengan hal tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera merevisi Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur APBN 2020.
Outlook penerimaan perpajakan tahun ini menjadi Rp1.404,5 triliun atau kembali turun 4,08% dari yang tercantum pada dalam Perpres 54/2020 senilai Rp1.462,62 triliun. Nilai outlook itu juga tercatat turun 9,1% dibandingkan realisasi penerimaan perpajakan 2019 senilai Rp1.545,3 triliun. (Kontan/DDTCNews)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan otoritas masih memformulasikan skema pelayanan langsung kepada wajib pajak saat new normal. Proses sudah masuk dalam tahap finalisasi.
Hestu tidak menampik salah satu opsi yang dipertimbangkan DJP adalah dengan menerapkan pelayanan langsung secara terjadwal. Wajib pajak dimungkinkan datang ke kantor untuk mendapatkan pelayanan langsung sepanjang membuat janji dengan account representative (AR). Simak artikel ‘Bagaimana Protokol Pelayanan Tatap Muka Saat New Normal? Ini Kata DJP’. (DDTCNews)