Tax Center dalam Riset Pajak

Pada 2018 lalu, ahli perpajakan Vito Tanzi menulis buku berjudul The Ecology of Tax Systems. Buku tersebut bisa dibilang sebagai refleksi atas pengalaman puluhan tahun sebagai penasihat reformasi pajak di berbagai negara. Ia berargumen bahwa keberhasilan maupun kegagalan dari suatu sistem pajak sangat dipengaruhi oleh ekologi pajak di suatu negara.

Ekologi sistem pajak menyertakan analisis tentang bagaimana tarik menarik kepentingan antara pemangku kepentingan dalam mendesain sistem pajak yang tepat bagi permasalahan ekonomi di masing-masing negara. Artinya, pemikiran para pemangku kepentingan di sektor pajak turut berperan dalam perubahan dan variasi sistem pajak di tiap negara.

Bagi Indonesia, ide Tanzi bisa diletakkan dalam konteks siapa dan bagaimana peran setiap pemangku kepentingan di sektor pajak. Secara sederhana para pemangku kepentingan bisa kita golongkan menjadi tiga, yaitu pemerintah, masyarakat, dan pihak yang menjembatani keduanya. Pihak-pihak yang menjadi jembatan antara keduanya umumnya berperan untuk menjamin terwujudnya sistem pajak yang adil dan berkepastian. Profesi konsultan pajak, kuasa wajib pajak, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, hingga peneliti adalah beberapa contoh pihak yang posisinya berada antara negara (pemerintah) dengan masyarakat. Sayangnya, di Indonesia jumlahnya masih sedikit dan belum berperan secara optimal.

Salah satu pemangku kepentingan yang perannya belum dikembangkan dengan baik adalah tax center. Peran lembaga tersebut masih hanya sebatas pusat informasi dan wujud edukasi pajak dari perguruan tinggi di Indonesia. Padahal, tax center bisa menjadi lokomotif perubahan sistem pajak ke arah yang lebih baik, utamanya dari sisi riset.

Riset Pajak

Persoalan memobilisasi penerimaan dan mewujudkan sistem pajak yang ideal biasanya hanya diwujudkan oleh pemerintah dalam bentuk reformasi pajak yang fokus atas pembenahan kebijakan dan administrasi. Namun demikian, Murphy (2015) menyatakan bahwa ada dua elemen mendasar lainnya yang perlu diperhatikan, yakni edukasi pajak dan riset pajak.

Saat ini, walau belum maksimal, upaya untuk memperbaiki sektor edukasi pajak sedang dilakukan, misalkan melalui program Pajak Bertutur dan Inklusi Pajak. Program serupa kini juga menjadi tren di banyak negara (OECD, 2015). Pada saat yang bersamaan, diskusi mengenai perubahan kurikulum pajak sebagai multidisiplin ilmu juga mengemuka di tanah air.

Desain sistem pajak yang ideal membutuhkan pandangan dari berbagai pemangku kepentingan.

Lantas, bagaimana dengan riset pajak? Mengapa hal ini juga dirasa penting?

Pertama-tama, perlu kita pahami bahwa desain sistem pajak yang ideal membutuhkan pandangan dari berbagai pemangku kepentingan. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan merupakan hal yang krusial dan menjadi tuntutan terutama di iklim demokrasi (Wales dan Wales, 2012). Hal ini tidak hanya berguna bagi desain sistem pajak yang berkualitas, tapi juga dalam menciptakan hubungan saling percaya antara pemerintah dan pembayar pajak (OECD, 1994). Keterlibatan masyarakat memungkinkan adanya pemikiran alternatif yang tidak terpikirkan sebelumnya (Hettich dan Winer, 2010) maupun membentuk kontrak fiskal yang semakin kokoh (Burton, 2006).

Dalam proses partisipatif tersebut, riset di bidang pajak jelas diperlukan agar menelaah berbagai opsi yang tersedia sebelum membuat keputusan terkait sistem pajak. Kegiatan riset juga membantu para pembuat kebijakan dan politisi dalam memilih sistem yang terbaik.

Sama halnya dengan edukasi pajak, riset pajak sejatinya mencerminkan area multidisiplin ilmu, baik akuntansi, sosiologi, hukum, ilmu ekonomi, hingga administrasi (Lamb, 2005). Sebagai konsekuensinya, penelitian di bidang pajak turut melibatkan berbagai metode dan pendekatan mulai dari teknik kuantitatif, evidence-based, interpretasi hukum, bedah kasus putusan pengadilan pajak, hingga studi komparasi.

Sayangnya, kegiatan riset pajak di Indonesia masih belum “bergairah”. Selain karena masih persoalan di bidang edukasi pajak (pajak sebagai ilmu yang pragmatis), minimnya kegiatan riset turut diakibatkan oleh rendahnya ketersediaan buku dan jurnal, ketersediaan data yang andal, dana riset pajak yang belum optimal, serta belum banyaknya permintaan atas riset pajak. Apalagi, lembaga yang menjadi motor penggerak kegiatan riset pajak masih bisa dihitung dengan jari.

“Tax Center”

Tax center dapat mengambil peran sentral dalam kegiatan riset pajak. Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa tax center harus mengisi kekosongan tersebut.

Pertama, tax center umumnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari universitas. Lebih lanjut lagi, kita mengetahui bahwa universitas memiliki semboyan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang mencakup aktivitas pendidikan, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat. Oleh karena itu, peran aktif tax center dalam riset pajak bersifat mendukung terwujudnya visi-misi universitas. Tradisi penelitian berbasis akademis—yang bebas kepentingan, objektif, dan bisa dipertanggungjawabkan—juga menjadi bagian keseharian sivitas kampus.

Kedua, jika dibandingkan dengan para pemangku kepentingan sektor pajak lainnya yang berfungsi menjadi jembatan antara pemerintah dengan masyarakat, tax center memiliki posisi yang unik. Tax center relatif bisa diterima oleh seluruh pemangku kepentingan.

Dari sisi pemerintah, tax center dipahami sebagai mitra strategi dalam hal penyebaran informasi dan sosialisasi ketentuan pajak. Tax center juga tidak terlibat secara aktif dalam kegiatan usaha konsultasi dan kuasa wajib pajak. Di sisi lain, masyarakat juga melihat tax center sebagai pihak yang berperan sebagai wadah suara para pembayar pajak melalui forum diskusi dan kegiatan penelitian.

Ketiga, kehadiran tax center sudah cukup banyak dan tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, riset pajak yang dilakukan oleh tax center sejatinya bisa ‘memotret’ situasi Indonesia secara keseluruhan, baik dalam konteks pajak nasional, konstelasi global, maupun pajak daerah. Keunggulan lainnya, tax center di masing-masing wilayah bisa menjadi mitra strategis kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak maupun dinas pendapatan daerah di setiap provinsi maupun kabupaten kota.

Akhir kata, tax center sejatinya menjamin perumusan sistem pajak yang partisipatif, pengelolaan fiskal yang lebih kredibel, serta keseimbangan antara hak dan kewajiban pembayar pajak. Kehadiran tax center akan membentuk ekologi pajak yang sehat dan berkelanjutan.

*Tulisan ini pernah dimuat di https://majalahpajak.net/ dan rilis tanggal 19 Maret 2019