DINAMISNYA perkembangan dunia pajak telah menantang dirinya. Dia merespons situasi itu dengan terus memperbarui informasi dan pengetahuan tentang pajak. Kuncinya, menurut dia, harus terus membaca karena pajak juga dipengaruhi perkembangan ekonomi, teknologi, dan aspek lain.
Membaca menjadi aktivitas wajib, termasuk saat dia akan mengajar. Tujuannya, ilmu yang dibagikan kepada mahasiswa memang sesuai dengan perkembangan terbaru. Di satu sisi, dia juga mengakui terbantu sebagai pengajar dengan belakang pendidikan akuntansi dan pajak. Keduanya berhubungan.
Dia adalah Bendahara II Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) Amelia Sandra.
PERTAPSI menjadi nama baru dari Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (ATPETSI). Perkumpulan ini merupakan satu-satunya wadah bagi tax center dan akademisi pajak di Indonesia yang mandiri dan membentuk badan hukum.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Amelia secara daring. DDTCNews ingin mencari tahu tentang keprofesian, pendidikan, serta pandangannya terkait peran tax center dan akademisi. Berikut kutipannya:
Apa saja aktivitas keseharian Anda terkait dengan keprofesian?
Saya sehari-hari mengajar di Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie. Saya dosen tetap dan kepala tax center. Ya layaknya dosen, aktivitas saya berkaitan dengan tri dharma perguruan tinggi. Pengajaran, pengabdian kepada masyarakat, dan penelitian.
Sekarang ini juga lagi sibuk membingung skripsi mahasiswa-mahasiswa. Saya memang enggak berpraktik sebagai konsultan pajak. Namun, biasanya di akhir atau awal tahun bantuin teman-teman kantor dan luar kantor yang punya usaha untuk mengisi SPT. Ya itu bagian dari pengabdian saja.
Apakah mengajar tentang perpajakan?
Iya, perpajakan. Latar belakang saya itu S-1 Akuntansi di Universitas Andalas. Kemudian, S-2 Administrasi Fiskal Universitas Indonesia. Jadi S-2 terkait dengan pajak. Saya memang tertarik dengan bidang pajak.
Namun, waktu itu ada kebijakan pemerintah bahwa kalau swasta mau akreditasi, dosennya itu lebih baik yang linier pendidikannya. Karena waktu itu S-3 agak lama dan anak-anak masih kecil, akhirnya saya kuliah S-2 lagi untuk ambil akuntansi.
Jadi, saya ngajar antara akuntansi dan pajak. Ini agak menguntungkan bagi saya. Pajak dan akuntansi itu ceritanya nyambung, misalnya mau menjelaskan soal akuntansi pajak atau rekonsiliasi. Bagi saya, ini juga menjadi nilai lebih untuk bisa berbagi ilmu dengan mahasiswa.
Apakah sudah dari lama Anda tertarik dengan akuntansi?
Awalnya belum ada gambaran waktu tamat SMA. Waktu itu, saya mau ngisi PMDK, harus memilih 3 jurusan. Terus papa saya bilang, “Pilihlah jurusan yang ada profesinya. Jadi, bisa bikin usaha sendiri atau mengajar.”
Profesi itu seperti akuntan. Jadi, kalau menjadi akuntan, bisa bikin usaha di rumah atau jadi dosen. Kemudian, [jurusan] kedokteran. Jadi dokter bisa buka praktik di rumah. Satu lagi ada apoteker sehingga bisa buka apotik juga.
Jadi, saya diminta memilih jurusan yang enggak harus jadi pegawai. Akhirnya saya patuh dengan saran orang tua. Saya baca-baca apa itu akuntansi. Saya dulu enggak tahu karena background-nya fisika. Jadi, waktu kuliah, saya kerja keras pada semester I. Setelah itu, [situasinya] enak. Lanjut terus.
Saya sempat kerja di kantor akuntan publik sebagai auditor sekitar 2 tahun. Jadi akuntan itu cukup berat. Apalagi kalau sudah deadline, bisa sampai jam 2 pagi misalnya. Akhirnya, saya memutuskan untuk berkarier sebagai dosen, ngajar.
Apalagi, saya sempat jadi asisten dosen saat di Universitas Andalas. Waktu mau menikah, saya pindah dari Padang ke Jakarta dan langsung masuk Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie. Enggak pindah-pindah.
Bagaimana juga munculnya ketertarikan Anda dengan bidang pajak?
Waktu ngambil S-2. Saya masih mikir nyambung akuntansi atau pajak. Namun, saya melihat pajak ini prospeknya bagus. Saya juga berpikir bidang yang dibutuhkan kampus dan masyarakat ke depannya. Akhirnya saya saya putuskan ambil S-2 di UI.
Saya suka karena pajak itu kan banyaknya di regulasi. Kalau konsep dasar pasti sama saja. Namun, ada perkembangan ekonomi, teknologi, dan akuntansi yang juga mengikuti. Pergerakannya sangat dinamis. Jadi, harus baca terus.
Saya kalau mau mengajar juga harus baca dulu, terutama terkait dengan peraturan terbaru. Jadi, saya pun ikut dinamis dengan terus membaca agar tidak ketinggalan berita dan informasi. Ilmunya update terus. Dinamisnya perkembangan pajak ini menantang bagi saya.
Menurut pendapat Anda, bagaimana sistem pajak Indonesia saat ini?
Sistem pajak kita sejak reformasi pada ’83 kan self assessment. Dengan sistem ini, negara memberikan kepercayaan kepada wajib pajak. Wajib pajak menghitung, membayar, dan melapor pajaknya sendiri. Jadi, ada kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat.
Namun, namanya diberi kepercayaan, pasti ada juga yang tidak patuh. Misalnya, berupaya memperkecil nilai kewajiban pajaknya. Namun, makin ke sini, pemerintah sudah meningkatkan sistem yang dibuat agar wajib pajak patuh. Ini juga termasuk soal program inklusi kesadaran pajak.
Sesuai dengan program pemerintah, materi pajak disisipkan pada mata pelajaran atau mata kuliah tertentu. Menurut saya, itu hal yang sangat bagus karena memberikan pengetahuan mulai dari dasar. Harapannya, ketika menjadi wajib pajak nantinya, mereka sudah paham dan melaksanakan kewajiban.
Dengan sistem self assessment, dibutuhkan adanya kepatuhan. Sanksi administrasi juga sudah diperkecil sesuai dengan tingkatan pelanggaran wajib pajak. Menurut saya, skema itu juga berpotensi memunculkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
Selain itu, pemerintah juga selalu mengikuti perkembangan ekonomi dan teknologi. Hal ini terlihat dari banyaknya digitalisasi layanan yang memudahkan wajib pajak. Ini perkembangan yang sangat bagus. Kemudian, ada pula beberapa kebijakan yang sesuai dengan tren, seperti pajak kripto dan pajak karbon.
Dengan dinamisnya pergerakan pajak, apakah sosialisasi yang dilakukan otoritas sudah cukup?
Wilayah Indonesia ini luas. Masyarakat dan wajib pajak kita tersebar dari kota sampai desa. Pernah ada penelitian mengenai insentif pajak untuk UMKM saat pandemi Covid-19. Saya minta mahasiswa untuk melakukan penelitian di sebuah kecamatan di Jawa.
Hasil dari penelitian itu adalah sebagian besar masyarakat tidak tahu padahal KPP di situ sudah melakukan sosialisasi. Mungkin mereka enggak datang saat sosialisasi. Terlepas dari itu, menurut saya, kegiatan sosialisasi perlu ditingkatkan.
Sosialisasi sekarang kan mungkin lewat televisi, Instagram, Twitter, Facebook, atau Youtube. Namun, mestinya juga perlu ada cara lain agar tetap menjangkau banyak wajib pajak. Salah satu caranya dengan menjalin kerja sama dengan lembaga lain, khususnya pada dunia pendidikan.
Adanya tax center sudah sangat bagus. Tax center bisa juga bekerja sama dengan LPPM (lembaga penelitian dan pengabdian masyarakat). Untuk sosialisasi atau pelatihan kepada UMKM misalnya, butuh peran bidang lain sebelum ngomongin pajak. Sepaket. Orang kadang sudah takut duluan kalau membahas pajak.
Selain sosialisasi, kegiatan apalagi yang dapat dijalankan tax center dan akademisi?
Sosialisasi itu kan memberikan literasi kepada masyarakat. Tax center dan akademisi juga bisa berperan memberikan masukan kepada DJP dalam hal kebijakan. Ini karena perguruan tinggi itu fungsinya pengajaran, pengabdian, dan penelitian.
Hasil-hasil penelitian atau riset yang dilakukan mahasiswa dan dosen bisa digunakan sebagai masukan atau ide dalam merumuskan kebijakan. Jadi, tax center dan akademisi bekerja sama untuk aktif juga melakukan kegiatan riset. Jadi, membantu sosialisasi, memberikan literasi perpajakan, serta menyampaikan hasil pemikiran sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan.
Artinya, penelitian juga mengambil peran penting dalam konteks modernisasi sistem pajak…
Iya, sangat penting. Tidak hanya penelitian kuantitatif, tetapi juga kualitatif atau studi kasus. Penelitian ini diharapkan menjadi dasar perumusan kebijakan-kebijakan pada masa mendatang.
Bagaimana seharusnya PERTAPSI berperan?
Sesuai dengan visi-misinya, PERTAPSI berperan demi kemajuan perpajakan Indonesia. PERTAPSI menjadi mitranya DJP. Apalagi, pajak ini kan menjadi tulang punggung penerimaan. Jadi, kita harus benar-benar ikut menyukseskan dan membantu pemerintah. Sebagai mitra, PERTAPSI menghubungkan antara dunia pendidikan, masyarakat, dan DJP. Harapannya, masyarakat makin sadar dan patuh.
Apa harapan Anda untuk perpajakan Indonesia ke depan?
Makin baik supaya makin adil. Adil itu susah ya karena bukan berarti sama, melainkan menempatkan sesuai dengan porsinya masing-masing. Kalau masyarakat sudah merasa adil, sistem perpajakan dipermudah, penegakan hukum diperketat, harapannya muncul kesadaran dan kepatuhan yang lebih baik. (kaw)
Data Singkat
Amelia Sandra, S.E.,Ak.,M.Si.,M.Ak.,C.A
Profesi
Pengajar di Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie
Pendidikan
Organisasi Profesi/ilmiah:
*Tulisan ini merupakan artikel milik DDTCNews yang dimuat dalam https://news.ddtc.co.id/ dan rilis tanggal 8 Desember 2022