JAKARTA, Wajib pajak badan UMKM masih dapat memanfaatkan fasilitas pajak penghasilan (PPh) meskipun sudah tidak bisa lagi menggunakan rezim PPh final PP 23/2018. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (18/10/2021).
Fasilitas yang dimaksud adalah pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar. Fasilitas dalam Pasal 31E UU PPh itu batal dihapus melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
“Bagi wajib pajak UMKM tetap diberikan fasilitas penurunan tarif PPh badan sebesar 50% sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31E UU PPh,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.
Sesuai dengan PP 23/2018, penggunaan skema PPh final dibatasi selama 3 tahun pajak untuk wajib pajak badan perseroan terbatas (PT). Batas waktu 4 tahun pajak berlaku untuk wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), atau firma.
PT yang sudah menggunakan PPh final UMKM sejak 2018 atau sebelumnya wajib akan dikenai rezim pajak normal mulai tahun pajak 2021. Sementara untuk koperasi, CV, atau firma berlaku mulai tahun depan. Simak Fokus ‘Harus Pakai Rezim Pajak Umum, UMKM Siap Naik Kelas?’.
Selain mengenai fasilitas PPh yang masih bisa dimanfaatkan wajib pajak badan UMKM, ada pula bahasan terkait dengan program pengungkapan sukarela wajib pajak.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Dukungan Kebijakan Pajak untuk UMKM
Kementerian Keuangan menegaskan dukungan pemerintah terhadap UMKM makin kuat dengan adanya UU HPP. Kepala BKF Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan dukungan pemerintah terhadap UMKM sangat jelas terlihat, bahkan makin kuat dengan UU HPP.
Bagi wajib pajak orang pribadi UMKM yang selama ini membayar PPh dengan tarif final 0,5% sesuai dengan PP 23/2018, diberikan insentif berupa batasan omzet tidak kena pajak hingga Rp500 juta setahun. Simak ‘Berlaku Tahun Depan, Omzet Hingga Rp500 Juta UMKM Tidak Kena Pajak’.
Sementara untuk wajib pajak badan UMKM tetap diberikan fasilitas penurunan tarif PPh sebesar 50% sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31E UU PPh.
Di samping itu, ada kemudahan dalam pemungutan PPN dengan menerapkan tarif PPN final misalnya 1%, 2% atau 3% dari peredaran usaha untuk jenis barang atau jasa tertentu atau sektor usaha tertentu yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri keuangan (PMK). (DDTCNews/Kontan/Kompas)
Pencabutan Permohonan Keberatan dan Banding
Wajib pajak orang pribadi yang akan mengungkapkan harta perolehan 2016-2020 dalam program pengungkapan sukarela (PPS) harus mencabut beberapa permohonan, termasuk keberatan, banding, dan peninjauan kembali.
Sesuai dengan UU HPP, untuk mengikuti program tersebut, wajib pajak orang pribadi harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), membayar pajak penghasilan (PPh) final, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2020.
Dalam UU HPP, wajib pajak juga harus mencabut beberapa permohonan, antara lain pengembalian kelebihan pembayaran pajak; pengurangan atau penghapusan sanksi administratif; dan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar.
Selain itu, pencabutan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar; keberatan; pembetulan; banding; gugatan; dan/atau peninjauan kembali. Simak pula ‘Perincian Ketentuan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak UU HPP’.
Pencabutan dilakukan jika wajib pajak sedang mengajukan permohonan tersebut dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan. Simak ‘Ikut Program Pengungkapan Sukarela, WP Bakal Dapat Perlakuan Ini’. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
Integrasi Data NIK dan NPWP
Kasubdit Humas Perpajakan Ditjen Pajak (DJP) Dwi Astuti mengatakan semangat utama integrasi data Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah untuk kemudahan administrasi warga negara. Melalui integrasi tersebut, setiap penduduk memiliki satu nomor identitas yang bersifat tunggal.
"Ide ini sebetulnya lebih kepada kemudahan, jadi tidak perlu lagi daftar atau antre," katanya.
Integrasi data NIK dan NPWP juga tidak membuat setiap warga negara menjadi pembayar pajak. Pemerintah masih menetapkan syarat subjektif dan objektif. (DDTCNews)
Perbaikan Kinerja PAD
Kinerja pendapatan asli daerah (PAD) secara nasional membaik seiring dengan yang terus melandainya penambahan kasus Covid-19.
Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti mengatakan realisasi PAD hingga September 2021 baru sekitar Rp184 triliun atau 60% dari target. Meski demikian, realisasi tersebut dapat terus meningkat dalam 3 bulan terakhir tahun ini.
"Kami berharap pada tahun 2021 bisa membaik walaupun capaian PAD masih 60% sampai dengan bulan september ini," katanya. (DDTCNews)
Pajak Karbon
International Monetary Fund (IMF) menilai langkah pemerintah Indonesia menerapkan pajak karbon sebagai kebijakan yang tepat untuk memitigasi perubahan iklim.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan pengenaan pajak karbon di Indonesia akan berkontribusi dalam penurunan emisi global. Namun, dia menyarankan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk menaikkan tarif pajak karbon sehingga dampaknya makin besar.
"Harga itu harus naik ke tingkat yang tepat jika ingin menjadi sinyal transformasional yang kuat," katanya. Simak pula ‘87% Pengisi Survei Setuju Pajak Karbon Jadi Solusi Tangani Masalah Ini’. (DDTCNews)