JAKARTA, Melalui PMK 54/2021, pemerintah memerinci ketentuan wajib pajak orang pribadi dengan kriteria tertentu yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tapi harus melakukan pencatatan. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (21/6/2021).
Dalam PP 74/2011 s.t.d.d. PP 9/2021 pengecualian pembukuan diberikan kepada tiga kelompok. Pertama, wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN).
Kedua, wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Ketiga, wajib pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu. Adapun perincian ketentuan wajib pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu diatur dalam Pasal 5 ayat (1) PMK 54/2021.
“Pasal dimaksud memang dimunculkan untuk memberikan kepastian hukum, sehingga aturan tersebut tidak menimbulkan multitafsir ke depannya," ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor.
Adapun wajib pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Selain itu, peredaran bruto dari kegiatan secara keseluruhan dikenai PPh bersifat final dan/atau bukan objek pajak dan tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak.
Selain mengenai ketentuan wajib pajak yang dikecualikan dari kewajiban penyelenggaraan pembukuan, ada pula bahasan tentang penyesuaian ketentuan penggunaan nilai buku atas pengalihan dan perolehan harta dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, atau pengambilalihan usaha.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Khusus atas wajib pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu, sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) PMK 54/2021, diperbolehkan untuk melakukan pencatatan tanpa menyampaikan pemberitahuan penggunaan NPPN. Wajib pajak ini dapat melakukan pencatatan sejak awal tahun pajak berlakunya PMK 54/2021.
Hal ini berbeda untuk kelompok wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan NPPN. Wajib pajak ini melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas serta memiliki peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak
Kelompok ini harus menyampaikan pemberitahuan kepada dirjen pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Apabila wajib pajak yang akan menggunakan NPPN tidak menyampaikan pemberitahuan dalam jangka waktu 3 bulan, wajib pajak tersebut dianggap memilih menggunakan pembukuan. (DDTCNews)
Sesuai dengan ketentuan dalam PMK 56/2021, kini wajib pajak badan dalam negeri (WPDN) dapat menggunakan nilai buku dalam rangka pemekaran usaha sepanjang badan usaha hasil pemekarannya mendapatkan tambahan modal dari penanam modal asing (PMA) paling sedikit Rp500 miliar
Selain itu, wajib pajak BUMN yang menerima tambahan penyertaan modal negara juga dapat menggunakan nilai buku dalam rangka pemekaran usaha. Namun, nilai buku dapat digunakan sepanjang pemekaran usaha dilakukan terkait dengan pembentukan perusahaan induk (holding) BUMN.
Tidak hanya itu, wajib pajak badan yang melakukan pemisahan usaha sehubungan dengan restrukturisasi BUMN kini juga dapat menggunakan nilai buku untuk pemekaran usaha. Ketiga cakupan wajib pajak tersebut belum tercantum dalam beleid terdahulu. Simak ‘PMK Baru Soal Penggunaan Nilai Buku untuk Pemekaran Usaha’. (DDTCNews)
World Bank kembali mendorong Indonesia untuk menurunkan threshold pengusaha kena pajak (PKP) yang saat ini ditetapkan senilai Rp4,8 miliar. World Bank memandang rezim PPN di Indonesia memiliki eligibility threshold yang tinggi serta mengandung banyak pengecualian.
"Hal ini mengindikasikan tax multiplier di Indonesia masih rendah dan menunjukkan reformasi dari sisi penerimaan dan belanja akan berdampak positif terhadap perekonomian dibandingkan dengan sekadar memangkas belanja," tulis World Bank. Simak ‘Lagi, World Bank Sarankan Indonesia Turunkan Threshold PKP’. (DDTCNews/Kontan)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan fasilitas diskon PPnBM atas mobil baru diberikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi Covid-19.
"Itu [fasilitas PPnBM] jangan dilihat siapa yang beli, tapi pertimbangannya itu diberikannya kenapa? Kami punya data golongan tertentu di masyarakat itu masih save uangnya, tidak membelanjakan. Ini berdampak pada produsen sektor-sektor tertentu [otomotif]," katanya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia)
DJP menyatakan sejauh ini belum ada perubahan tata kerja pegawai di tengah meningkatnya kasus positif Covid-19. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan skema bekerja dari kantor/work from office (WFO) dan dari rumah/work from home (WFH) masih sesuai dengan surat edaran menkeu terbaru tentang pencegahan dan penanggulangan Covid-19.
"Belum [ada perubahan skema WFO/WFH pegawai DJP]," katanya. (DDTCNews)
Pengadilan Pajak menunda persidangan yang telah dijadwalkan pada 21—25 Juni 2021. Selain itu, layanan administrasi secara tatap muka juga dihentikan sementara.
Ketentuan ini termuat dalam Surat Edaran Ketua Pengadilan Pajak Nomor: SE-06/PP/2021. Meningkatnya kasus konfirmasi positif Covid-19 di lingkungan Pengadilan Pajak menjadi salah satu pertimbangan dilakukannya penundaan persidangan dan penghentian sementara layanan tatap muka. Simak ‘Pengumuman! Sidang Pengadilan Pajak Minggu Depan Ditunda’. (DDTCNews)